Jumat, 27 Februari 2015

CARA MEMBUAT FOTO MOZAIK


CURAHAN HATI

apa negara udah tidak ada tempat lagi buat orang-orang baik
sehingga mereka selalu terpental dalam lingkaran setannya
apa negara ini benar-benar berisi manusia-manusia setan
lalu kapan negara ini berjalan dengan benar
agar keturunan kita menjadi benar
dan kita berakhir dengan benar
sungguh indah berakhir dengan benar walaupun berawal dari kesalahan
masih adakah harapan perbaikan...?
kalau masih mari sadarlah segera sebelum terlambat,,,!
apa mau nunggu dunia ini berakhir dengan tidak benar juga
terserahlah...................

Senin, 26 Mei 2014

GUSDUR BICARA TUHAN



Gus Dur bicara Tuhan. Kata pengantar untuk bukunya Pastur Romo Mangunwijaya
Abdurrahman Wahid
 649  603
SEORANG awam mendatangi Nabi Muhammad, dan bertanya di manakah Tuhan berada. Nabi menjawab dengan pertanyaan, di manakah Tuhan menurut orang itu? Penanya tersebut lalu menjawab bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas. Nabi lalu membenarkan ucapannya itu. Para sahabat Nabi lalu mempersoalkan hal itu, sepeninggal orang tersebut. Mengapakah Nabi mengatakan Tuhan berada di langit, nun jauh di atas, padahal bukankah Ia berada di mana saja, karena Ia tidak terikat ruang dan waktu, serta tak mengenal bentuk? Dijawab oleh Nabi, bahwa bagi orang tersebut, Tuhan berada di atas, dan itu sudah cukup baginya.

Riwayat tersebut menggambarkan betapa sulitnya menerangkan hakikat agama kepada manusia. Keserbaagungan Tuhan dan kemaha-mahaan lainnya yang dimiliki-Nya, tak dapat dijelaskan secara tepat kepada manusia. Sebabnya mudah saja: keterbatasan kemampuan manusia untuk menangkap kebesaran Tuhan. Kebesaran-Nya yang demikian mutlak, meniadakan kemampuan untuk hanya menetapkan satu cara saja untuk memahami-Nya. Dengan kata lain, pemahaman akan hakikat Tuhan mau tidak mau lalu mengambil bentuk berbeda-beda, dan dengan sendirinya pemahaman itu sendiri lalu berderajat. Tidak sama tingkat pemahaman Tuhan dari manusia ke manusia lainnya. Ada yang memahami-Nya demikian sederhana, seolah-olah Tuhan adalah sesuatu yang tidak kompleks sama sekali. Tuhan yang demikian adalah Tuhan yang dipahami secara sesisi: Maha Pemarah, Maha Penghukum, Maha Pembalas, dan seterusnya. Kepada manusia Ia adalah wajah kekuasaan yang mengerikan dan menakutkan, selalu siap dengan hukuman dan siksaan-Nya. Ia langsung menghukum setiap kesalahan, kelalaian dan kealpaan, bahkan sering kali hukuman-Nya sudah dijatuhkan sebelum kematian manusia dan ketika dunia belum kiamat. Penyakit menular dari sampar sampai cacar, bencana alam dari gempa bumi sampai banjir dan gunung meletus dan penindasan oleh bangsa-bangsa lain dijadikan contoh dari hukuman Tuhan itu.

Tuhan yang sesisi itulah yang paling banyak mencengkam benak manusia, dari masa ke masa dan dari agama ke agama. Hubungan Tuhan dan manusia dalam pemahaman seperti itu sangat bersifat mekanistik. Kau berjasa kepada Tuhan, kau akan diganjar dengan pahala. Sesuai dengan bagianmu, akan kau peroleh salah satu dari deretan sekian banyak imbalan, mulai dari kolam susu sampai bidadari ayu. Sebaliknya, kalau kau bersalah, hukuman akan jatuh dengan sendirinya. Boleh pilih, menurut tingkat dosamu, dari potong lidah hingga masuk penggorengan raksasa atau dipanggang menjadi manusia guling (ekuivalen kambing guling dari kehidupan dunia). Hubungan Tuhan dan manusia adalah hubungan hitam-putih, dengan spektrum sangat sempit dan tidak ada kemungkinan derajat pilihan cukup besar untuk mewadahi begitu banyak keragaman antarmanusia. Kalau ini yang dijadikan pola kehidupan beragama, masing-masing lalu berada pada kesempitannya sendiri. Jangankan dengan pemeluk agama lain, dengan sesama pemeluk satu agama pun akan terjadi perbedaan tajam. Pemahamanku adalah satu-satunya pemahaman yang benar, dan kau kafir karena kau berbeda dari pandanganku, dus kau bersalah. Neraka adalah bagianmu, dan surga adalah bagianku.

Tak dapat diingkari lagi, pendekatan seperti itu terhadap agama tentu akan dipenuhi oleh keruwetan hubungan antarmanusia, yang sebenarnya justru jauh dari hakikat agama. Salah satu ciri utama agama adalah universalitas ajarannya, sehingga melampaui batas-batas perbedaan antarmanusia. Jika ini tidak terjangkau oleh pemahaman agama yang disebutkan di atas, dengan sendirinya peranan agama lalu diciutkan, yaitu hanya untuk membebaskan sekelompok manusia saja, bukannya membebaskan keseluruhan umat manusia dari kungkungan kemanusiaan yang penuh keterbatasan. Manusia yang tidak mampu membebaskan diri dari kungkungan itu sudah tentu tidak dapat mengangkat diri menuju pengembangan sifat-sifat keilahian yang hakiki dalam dirinya, padahal itulah yang justru diminta oleh agama dari manusia. Jadilah bayangan Tuhanmu, agar kau mampu mencintai-Nya, adalah inti dari imbauan agama kepada manusia. Bagaimana mungkin kau mencapai derajat kecintaan kepada Tuhan dalam ukuran paling tepat, kalau kau tidak mencintai manusia secara umum, karena Tuhan justru mencintai mereka?

Tidak heranlah jika kaum mistik lalu mendambakan keintiman langsung antara manusia dan Tuhannya. Dari para pertapa Hindu dan Buddha hingga pendiri ordo Katolik dan para Sufi Muslim, mereka semua mendambakan kecintaan timbal-balik yang tulus antara Tuhan dan makhluk-Nya. Tuhan dilihat sebagai totalitas kebaikan dan kasih-sayang, dan manusia dilihat sebagai penerima kebaikan dan kasih-sayang itu. Karenanya, ia menerima Tuhan dengan kecintaan mutlak dan penghargaan setulus-tulusnya. Terasa benar kedua hal itu dalam ungkapan Sufi wanita Rabi'ah Al-'Adawiyah: Ya Allah, tiadalah kusembah Engkau karena takut neraka-Mu atau tamak surga-Mu, melainkan kusembah Engkau karena Kau-lah zat tunggal yang patut kusembah. Luluhlah semua perintang di hadapan kecintaan seperti itu, hancurlah semua penghalang di muka ketulusan begitu mutlak.

Memang tidak semua manusia dapat sampai ke tingkat pemahaman Ketuhanan seperti itu, karena memang ia adalah tingkatan khusus untuk sejumlah orang suci saja. Namun, ia sepenuhnya benar sebagai tolok ukur ideal bagi pemahaman yang seharusnya dimiliki manusia akan Tuhan-Nya. Nabi Muhammad menggambarkan bahwa Tuhan adalah sebagaimana dibayangkan oleh kawula-Nya, dalam arti Ia mampu mengisi segala rongga yang ada di benak manusia, dan semua sudut yang ada dalam hatinya. Al-Quran mengajarkan bahwa “Tuhan lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya sendiri”, namun pada saat yang sama Ia “duduk tegak di tahta-Nya”. Ini berarti Ia lebih besar dari apa pun rumusan manusia akan hakikat-Nya yang Mahasempurna. Sia-sialah upaya menjaring Tuhan hanya ke dalam sebuah pengertian saja. Seperti dikatakan para ulama Muslimin, boleh kalian rumuskan apa saja tentang Tuhan, tetapi jangan tentukan mekanisme kerja-Nya dalam menciptakan alam dan mengaturnya sekali. Boleh kalian sifati Tuhan dengan seberapa pun sifat yang dapat kalian kumpulkan, namun jangan tanyakan bagaimana sifat-sifat Tuhan itu menyatu dengan Zat-Nya. Jangan sebutkan bagaimana, kata Imam Hambali, bila kaifa dalam bahasa Arabnya.

Gambaran keluasan wawasan Ketuhanan yang seharusnya dimiliki manusia, seperti dicoba untuk digambarkan di atas, rasanya merupakan “pintu masuk” yang tepat bagi buku Romo Y. B. Mangunwijaya ini. Penulisnya melihat hubungan manusia dan Tuhan dalam ketakterhinggaan ufuk Ketuhanan itu, yang melampaui semua perbedaan antarmanusia dan menjembatani semua kesenjangan dalam kehidupan dunia. Manusia pertama-tama tidak dilihat sebagai obyek “garapan Tuhan” saja, melainkan sebagai pelaku aktif yang dituntut untuk mewujudkan pandangan keagamaannya dalam kehidupan nyata. Kalau boleh dirumuskan secara global, penghayatan iman seperti itu adalah penghadapan dan pertanggungjawaban keimanan kepada kehidupan. Keimanan bukanlah sesuatu yang abstrak dan berdiri sendiri lepas dari kehidupan, melainkan ia merupakan bagian utama dari kehidupan, karena ia harus mengarahkan kehidupan itu kepada suatu keadaan yang dikehendaki Tuhan.

Karena Tuhan adalah Tuhan yang Baik, Pemaaf, Pemurah, dan Pengasih, maka manusia tidak dapat lepas dari keharusan mewujudkan dalam dirinya sifat-sifat tersebut. Upaya mewujudkan sifat-sifat Tuhan itu dalam diri manusia tidak dapat berarti lain dari keharusan berbuat baik kepada sesama manusia, bersikap murah hati kepada mereka, mudah memaafkan kesalahan mereka, dan senantiasa berusaha mengasihi mereka. Sudah tentu tuntutan itu berujung pada keharusan manusia untuk senantiasa memikirkan kesejahteraan bersama seluruh umat manusia, bahkan kesejahteraan seluruh isi alam dan jagad raya ini. Tuntutan keagamaan seperti itu mengharuskan tumbuhnya pandangan tersendiri dalam diri manusia, dan itu akan diperoleh manakala religiositas ditanamkan dalam dirinya sejak masa anak. Bahwa “pendidikan agama” yang konvensional selama ini hanya menekankan penguasaan rumusan-rumusan abstrak tentang Tuhan dan penumbuhan sikap formal yang menyempitkan wawasan anak tentang Tuhan, akhirnya mendorong penulis buku ini untuk mencoba memetakan secara sederhana bagaimana seharusnya religiositas anak dikembangkan dan dibina.

Dalam kitab Al-Hikam, penulisnya merumuskan sebuah sikap yang sangat fundamental dalam mendidik religiositas: jangan temani orang yang perilakunya tidak membangkitkan semangatmu kepada Allah dan ucapan-ucapannya tidak menunjukkan kamu ke jalan menuju Allah. Kesadaran dan pemahaman akan Tuhan terkait sepenuhnya dengan percontohan yang harus diberikan tentang bagaimana seharusnya bergaul dengan Tuhan.

Keteladanan adalah kata kunci dari kerja mengembangkan religiositas dalam diri anak. Keimanan anak adalah sesuatu yang tumbuh dari pelaksanaan nyata, walaupun dalam bentuk dan cakupan sederhana, dari apa yang diajarkan. Karenanya, Tuhan yang abstrak tidak akan menciptakan religiositas, karena Ia tidak tergambar dalam keteladanan yang kongkret. Berikan kepada anak sosok Tuhan yang sangat abstrak, dan ia hanya akan menjadi beo peniru rumusan tanpa mampu memiliki religiositas sedikit pun. Letakkan pemahaman anak itu akan Tuhan dalam bentuk yang kongkret, yang dapat diwujudkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan ia akan mengembangkan dalam dirinya religiositas penuh. Religiositas yang merasa prihatin oleh gugahan keprihatinan orang lain yang tidak seberuntung dirinya. Religiositas yang dalam lingkupnya sendiri mampu membuat anak itu di kemudian harinya mempertanggungjawabkan keimanannya sendiri kepada kehidupan.

Sebuah kisah menarik dari khazanah kaum Sufi dapat dikemukakan di sini. Seorang wanita saleh tidak mau memberi minum kepada kucing yang dikurungnya, hingga kucing itu mati. Sedangkan seorang wanita pelacur suatu ketika menolong anjing yang tersesat di padang pasir dari kematian karena kehausan, dengan jalan memberikan kepada anjing itu persediaan terakhir air minumnya. Dilakukannya hal itu dengan tidak menghiraukan keselamatannya sendiri. Di hari kiamat, sang wanita saleh dimasukkan neraka, karena kekejamannya jauh melampaui kesalehannya, sedangkan sang pelacur masuk surga karena kasih-sayangnya menyelamatkan makhluk lain, dan itu melebihi semua kesalahan dan kebobrokan moralnya. Mungkin dalam cerita inilah dapat ditemui gambaran kongkret akan religiositas, jika dimaksudkan dengan itu pertanggungjawaban

Sabtu, 03 Mei 2014

BID'AH






Bid’ah adalah sesuatu yang jelas dilarang dalam agama islam, banyak hadis yang membahas tentang bid’ah, antara lain di bawah ini:

Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam bersabda:

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ (رواه النسائي

“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitab Allah (al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap yang baru diada-adakan adalah bid’ah, setiap bid’ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam neraka” (HR. Nasa’i)

Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam bersabda:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ


“Amma ba’d, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat”. (HR Muslim)

Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak”. (HR Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ


“Jauhilah oleh kalian semua dari mengada-adakan hal-hal yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” (HR Abu Dawud)

Secara bahasa, bid‘ah berasal dari kata bada’a- yabda‘u-bad‘an wa bid‘at[an] yang artinya adalah mencipta sesuatu yang belum pernah ada, memulai, dan mendirikan. Bada‘a asy-syay‘a,artinya, Dia menciptakan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada. (Kamus al-Munawir, hlm. 65)
Bisa disimpulkan bahwa bid’ah secara bahasa artinya menciptakan hal yang baru atau melakukan inovasi baru.

Sudah jelas bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihiwasalam melarang bid’ah, semua bid’ah adalah sesat. Apakah berarti Rasulullah melarang menciptakan sesuatu yang baru?

Perlu dibedakkan antara istilah bahasa dan istilah syar’i. Contohnya: taqwa secara bahasa artinya memelihara, iman secara bahasa artinya percaya. Apakah kalau ada non muslim yang percaya dengan artikel ini dia bisa disebut mukmin secara syar'i? tentu tidak. Karena ada arti secara bahasa dan secara syar’i. Perlu dibedakan antara taqwa, iman, tawakal, dan bid’ah secara bahasa dan secara syar’i.

Perlu dipahami antara perkara-perkara ubudiah (ritual peribadatan) dengan perkara-perkara muamalah (urusan dunia). Misalnya, shalat adalah perkara ubudiah, sedangkan saat shalat memakai pakaian model dan jenis tertentu itu adalah perkara muamalah. Rasulullah menyuruh sahabatnya untuk mencontoh shalatnya, tetapi Raulullah tidak pernah melarang sahabat yang tidak memakai baju persis sama dengan Rasulullah.

صَلُّوا كَمَا رَأَيتُمُنِي أُصَلِي


“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa bid’ah secara syar’i artinya menciptakan sesuatu yang baru yang berhubungan dengan syar'i, yaitu menciptakan sesuatu yang menyerupai atau seolah-olah jadi syariat, lebih jelasnya adalah menciptakan ritual peribadatan (ubudiah) baru yang tidak dicontohkan Rasulullah atau melakukan inovasi ritual peribadatan (ubudiah).

Perlu diperhatikan bahwa setiap ritual ibadah apapun pasti bersinggungan dengan perkara muamalah. Missal dalam shalat tentu supaya sah shalatnya harus menutupi aurat (memakai baju, sedangkan memakai baju adalah perkara muamalah).

Di atas sudah banyak disebutkan hadis-hadis tentang prinsip hukum ubudiah, di bawah ini salah satu hadis untuk dasar hukum muamalah:

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

“Kalian lebih tahu tentang urusan duniawi kalian” (H.R Muslim)

Prinsip hukum untuk perkara ubudiah adalah “semua dilarang kecuali yang diperintahkan, sedang prinsip hukum muamalah adalah semua boleh kecuali yang dilarang”.

Tidak semua yang berhubungan dengan agama adalah perkara ubudiah (ritual peribadatan), contohnya, meskipun agama memerintahkan semua muslim untuk menuntut ilmu, dan menuntut ilmu dijanjikan pahala yang besar melebihi shalat sunnah 1000 rakaat, tapi menuntut ilmu bukanlah ritual peribadatan. Begitu juga tidak semua yang melanggar hukum syar’i disebut bid’ah. Contohnya, meskipun zina adalah dosa besar dan dilarang syar’i serta Nabi tidak pernah zina, tetapi orang yang berzina tidak disebut melakukan bid’ah. Karena bid’ah hanya menyangkut pelanggaran-pelanggaran yang menyangkut ritual peribadatan yang sifatnya menciptakan ritual peribadatan baru.

Logika sederhananya, orang yang korupsi itu melanggar hukum, tetapi orang yang melanggar hukum belum tentu korupsi, dan tidak boleh semua orang yang melanggar hukum disebut koruptor.

Apakah pembukuan Al-Quran, pemberian titik, maupun penulisan dalam kertas-kertas dan media modern adalah bid’ah? Jawabannya tidak, Karena Al-Quran bukan ritual peribadatan, meskipun dalam ritual peribadatan ada bacaan Al-Quran. Di atas sudah dijelaskan bahwa dalam shalat harus memakai baju, tetapi baju bukan ritual peribadatan. Orang yang cuma memakai baju menutupi auarat tidak bisa dikatakan sedang melakukan ritual peribadatan, tetapi orang yang memakai baju menutupi aurat bisa dikatakan orang yang sedang menjalankan perintah agama.

Sekali lagi, tidak semua yang berhubungan dengan agama dan yang diperintahkan agama masuk dalam ranah ritual peribadatan (ubudiah), dan bid’ah hanya menyangkut perkara peribadatan yang baru atau inovasi dalam ritual peribadatan.

Beda masalah dengan orang yang menggunakan Al-Quran untuk menciptakan ritual ibadah tertentu, misalnya orang berkumpul melakukan ritual sujud syukur berjamaah 10 kali sambil membaca Al-Quran 10 kali untuk syukuran panen. Sujud sukur maupun membaca Al-Quran hukumnya boleh bahkan disunnahkan, tetapi melakukan inovasi menjadi kesatuan ritual tertentu, yaitu dilakukan berjamaah dan dengan hitungan-hitungan tertentu dan tata cara serta niat tertentu, yang seolah menjadi ritual sendiri yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah, itu yang membuat jadi bid’ah. jadi di sini yang bid'ah bukan sujud syukur dan Al-Qurannya, tapi ritualnya.

Contoh lain, misalnya kita melakukan shalat pelangi, ketika melihat pelangi, seperti shalat gerhana. Yang bid'ah bukan gerakan-gerakan dan bacaan shalatnya, tapi niat untuk ritual tertentu yang tidak dicontohkan Rasulullah yang membuat bid'ah.

Apakah maulid Nabi itu bid'ah? Peringatan kelahiran seseorang bukanlah ritual peribadatan, jadi maulid Nabi bukanlah bid'ah. Bagaimana kalau misalnya peringatan maulid disertai sujud syukur berjamaah 10 kali sambil baca Al-Quran berjamaah 10 kali dengan diniatkan rasa syukur karena telah diutusnya seorang Rasul. Dalam hal ini yang bid'ah bukan maulidnya tetapi yang bid'ah adalah ritual dalam maulid tersebut. Selama di dalam maulid itu cuma di isi perkara muamalah yaitu pengajian maupun kajian sejarah Nabi maka bukanlah bid'ah.

Dalam agama, yang berpahala dan bernilai ibadah bukan hanya perkara yang pada dasarnya adalah perkara ubudiah, perkara yang pada dasarnya perkara muamalah yang diperintahkan dan perkara-perkara yang niatnya baik juga berpahala dan bernilai ibadah, misalnya menuntut ilmu, bekerja untuk menafkahi keluarga, dan lain sebagainya.

Dari dalil-dalil dan pembahasan di atas bisa disimpulkan bahwa semua bid’ah adalah sesat, tidak ada difinisi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi'ah. Karena kalau ada bid’ah hasanah dan sayyiah maka akan bertentangan dengan hadis "kullu bid'atin dholalah, wa kullu dholalatin finnar" “semua bid’ah adalah sesat, dan semua kesesatan (tempatnya) di neraka”.
Difinisi yang paling sesuai adalah difinisi bid’ah secara bahasa dengan bid’ah secara istilah agama. Dengan melihat sejarah Nabi SAW dan sabda-sabda beliau yang telah ditulis di atas, maka bid’ah secara istilah agama adalah sesuatu yang baru yang menyangkut ritual peribadatan.

Perlu diperhatikan bahwa yang memberikan vonis sesat terhadap bid’ah bukanlah si A atau si B melainkan Rasulullah.

Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam bersabda:


مَا أَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا رُفِعَ مِثْلُهَا مِنَ السُّنَّةِ

"Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah, kecuali akan terangkat Sunnah yang semisal dengannya" (HR Ahmad)


Wallahua’lam.

SYAIR WAHID HASYIM



وَلَا شَيْءٌ يَدُوْمُ فَكُنْ حَدِيْثاً # جَمِيْلَ الذّكْرِ فَالدُّنْيَا حَدِيْثُ
Tak ada satu pun di dunia ini yang kekal. Maka, ukirlah cerita indah sebagai kenangan. Karena dunia memang sebuah cerita

أَلَا لِيَقُلْ مَا شَاءَ مَنْ شَاءَ إِنّماَ # يُلاَمُ الفَتىَ فِيْمَا اسْتَطَاعَ مِنَ اْلأَمْرِ

Ungkapkanlah apa yang ingin diungkapkan. (Jangan ragu) pemuda memang selalu dicemooh lantaran kecakapannya.

ذَرِيْنِيْ أَنَالُ مَا لَا يُناَلُ مِنَ اْلعُلَى # فَصَعْبُ العُلىَ فِي الصَّعْبِ وَالسَّهْلُ فِي السَّهْلِ 
تُرِيْدِيْنَ إِدْرَاكَ المَعَالِي رَخِيْصَةً # فَلَا بُدَّ دُوْنَ الشَّهْدِ مِنْ إِبَرِ النَّحْلِ
Biarkan aku meraih kemuliaan yang belum tergapai. Derajat kemuliaan itu mengikuti kadar kemudahan dan kesulitannya. Engkau kerap ingin mendapatkan kemuliaan itu secara murah. Padahal pengambil madu harus merasakan sengatan lebah.

سَتُبْدِيْ لَكَ الأَيَّامُ مَا كُنْتَ جاَهِلاً # وَيَأْتِيْكَ بِاْلأَخْبَارِ مَا لَمْ تُزَوِّدِ
Kelak waktu akan memperlihatkan dirimu sebagai orang yang bodoh, dan membawakan kabar untukmu tentang perbekalan yang kosong.


لَقَدْ غَرَسُوْا حَتَّى أَكَلْناَ وَإِنَّناَ # لَنَغْرَسُوْا حَتَّى يَأْكُلَ النَّاسُ بَعْدَنَا
Para pendahulu telah menanam sehingga kita memakan buahnya. Sekarang kita juga menanam agar generasi mendatang memakan hasilnya.


إِذَا فَاتَنِيْ يَوْمٌ وَلَمْ أَصْطَنِعْ يَدًا # وَلَمْ أَكْتَسِبْ عِلْماً فَمَاذَاكَ مِنْ عُمْرِيْ
    Tatkala waktuku habis tanpa karya dan pengetahuan, lantas apa makna umurku ini?



WAWA

Misteri